OPINI : Dampak Penempatan Guru Terhadap Kesejahteraan dan Kualitas Pendidikan: Sebuah Tinjauan Kritis

Opini774 Dilihat

Oleh : Anugrah Ade Putra (Mahasiswa S2 BK UNJ)

Palopo —- Sistem pendidikan nasional Indonesia masih menghadapi tantangan serius terkait kebijakan penempatan guru yang berdampak signifikan terhadap kualitas pembelajaran dan kesejahteraan para pendidik.

Berbagai permasalahan yang muncul telah menciptakan gelombang keresahan di kalangan guru, terutama berkaitan dengan penempatan yang jauh dari domisili dan keluarga mereka.

Situasi ini tidak hanya mempengaruhi kinerja profesional tetapi juga kehidupan personal para guru.

Mengacu pada Permendikbud Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru, setiap pendidik diwajibkan memenuhi beban mengajar minimal 24 jam per minggu.

Namun, implementasi kebijakan ini seringkali menimbulkan kendala substansial.

Banyak guru terpaksa mengajar mata pelajaran di luar kompetensi mereka untuk memenuhi syarat jam mengajar.

Ketidaksesuaian ini berdampak langsung pada kualitas pembelajaran dan pencairan Tunjangan Profesi Guru (TPG).

BACA JUGA :  Politik, Media Dan Ekonomi

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2020), ketidaksesuaian penempatan guru dengan kompetensinya dapat menurunkan kualitas pembelajaran hingga 45 persen.

Aspek yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak psikososial yang dialami para guru akibat penempatan jauh dari keluarga.

Tekanan psikologis yang muncul tidak hanya mempengaruhi kinerja profesional tetapi juga kehidupan pribadi mereka.

Komunikasi yang terbatas dengan keluarga seringkali memicu konflik rumah tangga dan mengganggu keseimbangan kehidupan berkeluarga.

Para guru yang memiliki anak kecil menghadapi dilema tersendiri karena tidak dapat memberikan perhatian dan waktu yang cukup untuk tumbuh kembang anak-anak mereka.

Studi yang dilakukan Pratama (2022) mengungkapkan bahwa 67 persen guru yang ditempatkan jauh dari keluarga mengalami gejala stres moderat hingga berat.

Kondisi ini diperparah ketika anggota keluarga mengalami sakit atau masalah serius yang membutuhkan kehadiran mereka.

BACA JUGA :  PT MDA Mengeruk Emas, Mendulang Kesejahteraan

Ketidakmampuan untuk hadir secara fisik saat keluarga membutuhkan menciptakan beban mental tambahan yang significant bagi para guru.

UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebenarnya telah mengamanatkan bahwa guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas.

Perlindungan ini seharusnya mencakup aspek kesejahteraan mental dan sosial, termasuk pertimbangan penempatan yang humanis.

Namun dalam praktiknya, implementasi undang-undang ini masih jauh dari harapan.

World Bank (2019) dalam laporannya tentang pendidikan di Indonesia menekankan bahwa efektivitas pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kesesuaian kompetensi guru dengan bidang yang diajarkan.

Ketika guru ditempatkan tidak sesuai dengan kompetensinya atau mengalami tekanan psikologis akibat jauh dari keluarga, kualitas pendidikan secara keseluruhan akan terpengaruh.

Reformasi kebijakan penempatan guru menjadi kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda.

Sistem penempatan yang lebih humanis perlu mempertimbangkan aspek domisili dan kesejahteraan guru tanpa mengesampingkan tujuan pemerataan pendidikan.

BACA JUGA :  OPINI : IPMIL dan Hak Politik Kadernya

Peningkatan insentif dan fasilitas bagi guru di daerah terpencil juga perlu diimplementasikan sebagai bentuk kompensasi atas pengorbanan mereka.

Kesejahteraan guru tidak bisa dipandang sebelah mata dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan nasional.

Keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan pendidikan di daerah dan kesejahteraan guru harus menjadi prioritas dalam setiap pengambilan kebijakan.

Tanpa pendekatan yang komprehensif dan humanis, permasalahan ini akan terus berulang dan berdampak pada menurunnya kualitas pendidikan secara keseluruhan.

Sudah saatnya pemerintah dan pemangku kebijakan mendengarkan aspirasi para guru dan mengambil langkah konkret untuk mereformasi sistem penempatan.

Kebijakan yang mempertimbangkan aspek kemanusiaan akan menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, guru yang sejahtera akan mampu memberikan pendidikan berkualitas yang menjadi hak setiap anak bangsa. (*)

Komentar